Pernah merasa nyari talent DevOps yang benar-benar kompeten itu susahnya minta ampun? Kalian nggak sendirian. Laporan terbaru menyoroti kalau perusahaan kelas kakap alias enterprise sekarang mulai panik. Rasanya, tumpukan sertifikat tebal saja nggak cukup buat menaklukkan infrastruktur cloud yang makin hari makin njelimet. Makanya, strategi pelatihan baru mulai dimainkan secara agresif.
Kalau kita bedah lebih dalam laporan dari DevOps.com ini, inti masalahnya sebenarnya klasik tapi krusial: supply dan demand yang nggak ketemu. Kebutuhan akan skill spesifik seperti otomatisasi, Infrastructure as Code (IaC), kontainerisasi, sampai observabilitas itu melesat tinggi sekali. Sayangnya, jumlah profesional yang siap pakai masih sangat minim. Tekanan ini bikin pusing tim internal, dan mereka akhirnya sadar kalau metode lama—yang cuma duduk mendengarkan teori atau mengejar sertifikasi kertas—nggak lagi relevan untuk mengatasi masalah teknis di lapangan.
Kalian pasti tahu bedanya orang yang cuma hafal teori sama yang pernah “kotor-kotoran” di terminal, kan? Nah, perusahaan-perusahaan ini sepertinya mulai sadar akan hal itu. Trennya sekarang bergeser drastis ke arah hands-on yang intensif. Mereka nggak tanggung-tanggung menggelontorkan dana buat membangun program pelatihan di mana karyawan bisa langsung menyentuh teknologi tersebut. Bukan cuma nonton tutorial, tapi langsung terjun membangun solusi dan memecahkan masalah.
Metode yang mereka pakai juga cukup menarik. Biasanya melibatkan lingkungan sandbox yang aman. Jadi, kalau ada yang salah konfigurasi atau sistemnya crash saat latihan, ya nggak masalah, sistem produksi utama tetap aman. Kuranglebihnya, ini memberikan ruang bagi tim IT untuk bereksperimen, membuat kesalahan, dan belajar dari kesalahan tersebut tanpa rasa takut. Simulasi proyek nyata yang relevan dengan kebutuhan bisnis juga jadi menu wajib, bikin proses belajar jadi jauh lebih nempel di kepala ketimbang sekadar menghafal definisi.
Poin penting lainnya adalah pendampingan. Belajar otodidak itu bagus, tapi ada batasnya. Dalam pendekatan baru ini, karyawan dibimbing langsung oleh instruktur berpengalaman. Tujuannya supaya mereka nggak cuma paham “cara” melakukan sesuatu, tapi juga “mengapa” hal itu dilakukan. Pendekatan berbasis pengalaman ini rasanya jauh lebih efektif buat membangun insting pemecahan masalah (troubleshooting) dan meningkatkan kepercayaan diri tim saat menghadapi insiden sungguhan.
Nggak cuma soal manusianya, alat pendukungnya juga diperbarui. Perusahaan mulai berinvestasi pada toolchain yang memfasilitasi kolaborasi antara tim pengembangan (Dev), operasi (Ops), dan keamanan (Sec). Tujuannya supaya semua orang punya satu pemahaman yang sama, satu “bahasa” yang sama. Budaya pembelajaran berkelanjutan atau continuous learning ini didorong habis-habisan. Mereka nggak lagi melihat pelatihan sebagai “biaya hangus”, tapi sebagai investasi strategis.
Dari perspektif praktis, langkah ini masuk akal banget. Perusahaan yang sukses mengatasi skill gap adalah mereka yang mendorong karyawannya untuk terus belajar, entah itu lewat akses ke platform pembelajaran online, workshop, atau konferensi. Begitunya mereka sadar, kalau mau tetap kompetitif dan inovatif di pasar yang super cepat berubah ini, punya tim yang adaptif dan terampil secara teknis adalah harga mati.
Rekan-rekanita sekalian, pergeseran tren ini memberikan sinyal kuat bagi kita semua di industri IT. Kalau kalian pemimpin tim, rasanya sudah saatnya berhenti mengandalkan pelatihan pasif dan mulai fasilitasi tim dengan lab atau sandbox yang layak. Dan buat kalian praktisi, jangan puas cuma dengan teori; perbanyak jam terbang praktik. Terima kasih sudah menyimak ulasan minggu ini, semoga bisa jadi bahan renungan untuk strategi pengembangan karir atau tim kalian ke depannya.
sumber: devops.com
